Powered By Blogger

foto q

foto q

Sabtu, 23 Januari 2010

administrasi otonomi daerah

OTONOMI DAERAH DAN KOMPETENSI LOKAL
Gelombang reformasi tahun 1998 telah menuntun terjadinya eskalasi perubahan ridak hanya karena di latar belakangi oleh krisis di sektor ekonomi, tetapi juga mendorong perubahan di aras politik pemerintahan, yakni berubahnya pola pengelolaan dan tatanan hubungan pemerintahan. Perubahan tersebut adalah berupa pergeseran cara pandang (paradigma) dalam mengelola kekuasaan dari pendekatan sentralistis ke arah desentralisasi, praktek penyelenggaraan pemerintahan yang lebih berbasis di daerah.
Perubahan yang berlangsung secara dramatis, dengan didahului oleh tumbangnya kekuasaan Soeharto setelah lebih kurang 32 tahun berkuasa, setidaknya juga ditujukan untuk menjawab beberapa persoalan yang muncul mengiringi gerakan reformasi 1998, seperti menguatnya sentimen ketidakpuasan tethadap pemerintah pusat yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap munculnya kesenjangan kesejahteraan yang tajam antata masyarakat di daerah dan pusat. Hal ini didasarkan pada kondisi objektif di masyarakat, betapa kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap sejumlah keterlambatan pelaksanaan pembangunan di daerah telah memicu rasa ketidakpuasan masyarakat di daerah yang ditunjukkan dengan upaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dalam beberapa kasus, minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap daerah sangat mencolok justru kepada daerah yang sebenarnya telah menyumbang dan menyuburkan kantong-kantong pemasukan keuangan negara.
Kebijakan otonomi daerah juga harus diorientasikan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada daerah dalam mengembangkan dan memberdayakan daerahnya melalui prakarsa dan kreatifitas masing-masing. prakarsa dan kreatifitas yang dimaksud di sini adalah dalam hal memampukan kompetensi lokal yang ada. Artinya, setiap pemerintah daerah mesti jeli dan tepat dalam menyerap potensi dan komperensi lokal yang dimilikinya. jika suatu daerah memilikl potensi pariwisata yang dapat dijual dan dijadikan andalan pemasukan PAD (devisa), sebaiknya pemerintah daerah komitmen terhadap kompetensi tersebut.
Karena itu, kebijakan menerapkan otonomi daerah sesungguhnya dapat menjawab dua masalah secara bersamaan. Pertama, adalah menyangkut soal merebaknya keinginan pemisahan diri oleh beberapa daerah dari NKRI, seperti Aceh, Irian Jaya (Papua), Riau, Kalimantan Timur dan Maluku. Kedua, tuntutan tersebut juga didorong oleh kenyataan historis dan empiris tentang scmakin lebarnya jurang ketimpangan antara pusat dan daerah.
Berbeda dengan pola dan pendekatan sentralistis yang cenderung mengendalikan semua proses pengambllan keputusan dari pusat, otonomi daerah justru berusaha menempatkan proses pengambilan keputusan yang lebih dekat dengan masyarakat. Keuntungan besar bagi proses pengambilan keputusan model ini adalah masyarakat dapat mengetahui secara langsung dan cepat kebijakan-kebijakan apa saja yang akan, sedang, dan telah ditelorkan oleh pihak pengambil keputusan.
Masyarakat juga dapat segera melakukan tindakan protes manakala kebijakan dimaksud tidak sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya secara luas. Kesempatan yang luas dan memadai bagi munculnya sikap protes dari masyarakat minimal merupakan isyarat bagi tumbuhnya partisipasi warga di daerah.
Demokrasi Lokal
Perkembangan yang lebih maju justru terjadi di tingkat daerah. Dinamika kehidupan politik di daerah salah satunya ditandai oleh kesamaan kedudukan antara eksekutif dan legislatif dalam percaturan politik di daerah. Problem hubungan antara eksekutif dan legislatif di tingkat lokal yang nampak mengalami fluktuasi, belakangan kini menjadi fenomena yang menarik untuk diamati. Memang telah terjadi perubahan besar di dua lembaga tersebut dibanding pada masa bercokolnya kekuasaan otoriter Orde Baru. Sesungguhnya kinerja dua lembaga ini tampak sedang menjadi sorotan pelbagai pihak sebagai bukan tengah memperjuangkan kepentingan rakyat secara holistik, melainkan lebih condong sibuk dengan vested in-lerest-nya.
Pascagerakan reformasi sedikitnya telah dimulai perubahan mendasar berupa upaya desakralisasi lembaga kepresidenan. Presiden bukan menjadi lembaga yang anti kritik. Bahkan pengganti Soeharto, BJ. Habibie memulai hal yang baru dengan sikap tolerannya terhadap kritik dan hujatan. Suasana ini kemudian tampak ingin dipertahankan di era Abdurrahman Wahid. Kesan yang muncul di awal-awal kekuasaannya adalah bahwa presiden urutan keempat ini lebih populis, merakyat dan mau bergaul dengan "wong cilik". Meski kerap sensitif terhadap kritik, Gus Dur dalam beberapa hal masih lebih toleran terhadap kritik ketimbang masa Soeharto.
Penyerahan Kewenangan
Secara sederhana, otonomi daerah menghendaki sebanyak mungkin penyerahan kewenangan urusan rumah tangga pemerintahan kepada pemerintah daerah. Hal ini didasari oleh kepentingan terhadap fungsi pelayanan terhadap masyarakat sedekat mungkin bagi pemerintah daerah. Fungsi pelayanan terhadap masyarakat inilah yang dinilai selama ini kurang diimplementasikan, tatkala rentang kendali antara masyarakat dan pemerintah (pusat) terlalu jauh jaraknya. Apalagi selama lebih dari 32 tahun metode penyelenggaraan pemerintahan terpusat di Jakarta dan daerah kerap tidak memiliki sejumlah kewenangan yang langsung terkait dengan kepentingan masyarakat.
Sejalan dengan itu, pemerintah pusat diharapkan lebih berkonsentrasi dan memegang kendali atas kebijakan-kebijakan yang bersifat makro dan strategis. Beberapa hal yang memang menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah pusat adalah berkaitan dengan kebijakan atas: keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis-nasional. Sehingga, energi pemerintah pusat tidak terlalu banyak tersedot untuk mengurusi sejumlah masalah yang berkembang di pelbagai daerah.

Kebijakan penyerahan kewenangan kepada daerah setidaknya menjawab dua soal. Pertama, memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengambil prakarsa pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat. Karena itu, kesempatan yang baik ini tentu harus dapat ditangkap secara positif dan maksimal sebagai bagian dari upaya memperkuat kemampuan kapasitas pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan potensi dan kompetensi lokal yang ada. Kedua, pada level masyarakat, tentu kapasitas lokal senantiasa akan terus tumbuh manakala terbuka ruangdan kesempatan bagi masyarakat lokal dalam mengembangkan diri. Kebijakan desentralisasi memberikan peluang bagi tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini akan memberikan rangsangan baru bagi masyarakat untuk terus me¬ngembangkan segenap potensinya dalam rangka mengisi pembangunan.
Penguatan DPRD
Sebagai salah satu pilar demokratisasi di tingkat lokal, DPRD atau lembaga legislatif memiliki peran yang sangat strategis dan penting dalam menentukan berjalan atau tidaknya mekanisme demokrasi di daerah. Sejauh lembaga DPRD menampakkan kecenderungan yang positif dalam melakukan tugas dan perannya sebagai lembaga yang membawa aspirasi rakyat.
Sedikitnya ada beberapa keuntungan yang dapat diraih melalui pemberdayaan dan penguatan lembaga legislatif atau DPRD. Pertama, peluang terjadinya demokratisasi di tingkat lokal jauh lebih luas ketimbang sebelumnya sehingga pemerintahan yang muncul pun semakin demokratis. Kedua, setidaknya dapat dihindari berakarnya budaya anarkisme ketika sebagian warga masyarakat mulai percaya bahwa hanya dengan tindak kekerasan mereka bisa memperoleh perhatian serius atas isu-isu yang tengah diperjuangkan. Ketiga, memberi peluang dan keleluasaan kepada para anggota untuk lebih aktif dan responsif terhadap problem-problem krusial dan aktual di masyarakat (Ryaas Rasyid, 2000). Keuntungan tersebut juga akan menunjang kepada tugas-tugas DPRD sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Tugas itu antara lain, merumuskan kebijakan (regu-Liting), melakukan pengawasan (control) dan penyusunan unggaran belanja daerah (budgeting).
Pembangunan Tradisi Politik
Secara tidak langsung, otonomi daerah memberikan public sphere yang lebih luas dan berkembangnya tradisi politik yang berciri lokal. Selama masa sentralistis, praktek pcngelolaan negara cenderung mengarah pada uniformitas tradisi politik (monolitik) dengan pusat sebagai motor bagi ncluruh kegiatan politik yang berlangsung. Dengan adanya Otonomi daerah, masyarakat lokal memiliki kesempatan yang lebih luas untuk melakukan kreasi sesuai dengan tradisi-tradisi yang berkembang di daerahnya.
Efektifitas Pelayanan Eksekutif
Kebijakan otonomi daerah salah satunya adalah untuk lebih mendekatkan pengambilan keputusan dan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Mendekatkan proses pengambilan keputusan dan pelayanan dengan masyarakat bukan saja akan memotong panjangnya jalur birokrasi, melainkan juga dalam rangka efektifitas fungsi pelayanan eksekutif. Sebab, manakala kendala birokrasi mengemuka maka problem efektifitas fungsi pelayanan eksekutif menjadi terkendala. Hal ini berlaku di setiap jenjang kepemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Peningkatan efektifitas fungsi pelayanan eksekutif dapat melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki.
Efisiensi Administrasi Keuangan
Hal ini menjadi semacam tantangan bagi implementator otonomi daerah untuk menjawab persoalan merebaknya KKN di era otonomi daerah. Pertanyaannya, apakah kebijakan otonomi daerah lebih banyak menekan terjadinya gcjala KKN, ataukah justru sebaliknya. Melihat kecenderungan yang terjadi, otonomi daerah tidak hanya mcmberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengurusi kewenangan dalam hal keuangan, menyusun anggaran, membuat kebijakan dan membelanjakannya, tetapi juga memberi ruang bagi munculnya sejumlah kontrol efektif dari masyarakat. Harapannya, dengan ketatnya kontrol dari masyarakat dan stakeholder masyarakat sipil seperti LSM dan asosiasi, maka potensi membesarnya praktek KKN dapat diminimalkan.
Desentralisasi Fiskal dan Pemberdayaan Ekonomi Daerah
Sebelum kebijakan otonomi daerah di Indonesia diimplementasikan, hampir 75 persen total pengeluaran negara secara langsung ditentukan oleh pusat, dan lainnya sebesar 10 persen ditransfer ke pemerintah daerah. Pengeluaran 10 persen yang ditransfer ke pemerintah daerah penggunaannya secara efektif dikontrol oleh pusat. Bahkan yang masih tersisa, sebesar 15 persen dari total pengeluaran negara, juga banyak dipengaruhi pusat melalui proses perencanaan sampai dengan persetujuan APBN. Jadi secara keseluruhan, distribusi dari tanggung jawab pengeluaran anggaran masih tetap sangat sentralistis.
Hal ini mengacu pada aturan saat itu yakni, Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang berisi pedoman resmi tentang distribusi tanggung jawab di antara berbagai jenjang pemerintahan. Dalam penjelasan lebih lanjut di PP No. 45/ 1992 diatur bahwa fokus tanggung jawab diserahkan pada pemerintah daerah tingkat II. Beberapa fungsi pemerintah tetap dipegang oleh pemerintah pusat, seperti urusan pertahanan, urusan peradilan, urusan luar negeri, dan urusan lainnya yang memang akan lebih efektif dan efisien bila ditangani pemerintah pusat.
Secara makro, kondisi ekonomi Indonesia masih belum menggembirakan akibat masih terimbas krisis yang berkepanjangan. Karenanya, saratnya problem perekonomian nasional yang tengah dihadapi oleh pemerintah sedikit banyak telah mengesampingkan pemberdayaan ekonomi yang berbasis di daerah.

DINAMIKA POLITIK LOKAL
Secara ideal, salah satu wujud nyata dari semakin luasnya kesadaran masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah semakin longgarnya sekat-sekat sukuisme dalam masyarakat kita yang tersebar di berbagai daerah. Hal tersebut diharapkan menjadi fondasi utama dalam membangun kehidupan Indonesia Baru, di mana kesadaran sebagai satu bangsa menjadi hal yang harus dikedepankan. Saat ini aspirasi masyarakat dari berbagai pelosok daerah semakin berkembang secara plural. Di sisi lain primor-dialisme. juga berkembang sangat kompleks. Munculnya aspirasi melalui kongres-kongres rakyat yang sifatnya sparatis merupakan fenomena baru yang kita cermati bersama. Salah satu contoh kongkret adalah Sidang Umum Rakyat Aceh dan Kongres Rakyat Papua. Wacana demikian jika terus dibiarkan berkembang tanpa ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintahan pusat akan menjalar ke daerah-daerah lain. Permasalahan tersebut antara lain belum terpenuhinya kebutuhan hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan. Kondisi demikian menyebabkan mereka sangat sulit terlibat dalam penentuan kebijakan nasional.
Program Gerbang Dayaku
Implementasi otonomi daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah membuat isu sentral pembangunan yang berbasis pada proses pemberdayaan masyarakat yang disebut (gerbang Dayaku (Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai), yakni sebuah model pendekatan pembangunan yang berbasis pada pemberdayaan yang semua komponennya bersumber pada aspirasi dan potensi sumber daya yang dimiliki.
Visi dari Gerbang Dayaku adalah untuk menciptakan masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara yang "Madani" sejahtera, mandiri, dan berkualitas. Masyarakat madani adalah masyarakat yang agamis dan egaliter yang didasari atas kehidupan rukun dan damai berdasarkan masyarakat yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sesuai dengan standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana mestinya.
Masyarakat mandiri adalah masyarakat yang dapat menggunakan potensi dan sumber daya dirinya, untuk mengelola potensi sumber daya. Sedang masyarakat berkualitas adalah masyarakat yang memiliki peradaban kultur yang maju, memiliki ketrampilan, keahlian, dan pendidikan yang cukup memadai untuk menghadapi persaingan global.
Misi gerbang dayaku adalah memberdayakan seluruh komponen dan potensi masyarakat dalam sebuah wadah gerakan yang terencana dan terkoordinasi untuk me-wujudkan pembangunan Kabupaten Kutai sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dasar pemikiran dari misi tersebut adalah bahwa sekecil apapun potensi sumber daya anggota masyarakat pasti bisa didayagunakan dalam pembangunan.
Karakteristik atau sifat dasar Gerbang Dayaku adalah inklusif, partisipatif, metodis, empiris dan aspiratif. Metode adalah cara yang ditempuh untuk mencapai sasaran yang diinginkan, sedangkan metode yang dipakai dalam konsep Gerbang Dayaku meliputi beberapa metode dasar, yakni metode intervensi pekerjaan sosial, metode community development dan metode pemberdayaan (empowering).
a. Metode intervensi pekerjaan sosial, yakni pengembangan masyarakat dengan cara menyuntikkan nilai-nilai pembangunan ke dalam masyarakat agar masyarakat memiliki tata nilai baru untuk mendapatkan akses ekonomi/kesejahteraan.
b. Metode community development, yakni metode pengembangan masyarakat dengan cara membina kelompok-kelompok usaha masyarakat yang sudah ada menjadi kelompok usaha yang lebih modern dan berorientasi ke masa depan.
c. Metode pemberdayaan (empowering), yakni metode pengembangan masyarakat dengan memberikan penguatan usaha terhadap pengusaha/kelompok usaha masyarakat yang telah berkembang agar menjadi lebih maju dan modern.
Asas dari program Gerbang Dayaku adalah membangun kehidupan masyarakat Kabupaten Kutai yang memiliki kepribadian Pancasila sesuai dengan prinsip dasar penyelenggaraan otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Parameter adalah ukuran norma yang dapat digunakan untuk menentukan interval keberhasilan dan kegagalan dari sebuah program kegiatan. Sedangkan yang dijadikan parameter dari Gerbang Dayaku meliputi Kesejahteraan masyarakat, Parameter kemandirian, Parameter masyarakat berkualitas
Peran serta berbagai komponen masyarakat dalam Gerbang Dayaku menempati posisi sangat tinggi. Segenap komponen masyarakat itulah yang akan mewarnai sisi-sisi gerakan pembangunan yang telah direncanakan. Berbagai komponen yang diharapkan bisa terlibat antara lain Peranan Pemerintah, Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peranan Masyarakat, peranan lembaga masyarakat, peranan investor swasta.
Mengurai Konflik Politik Lokal
Maraknya konflik politik seputar pemilihan kepala daerah (bupati, walikota dan gubernur) tak dapat dipisahkan dari semangat yang dibawa oleh UU No. 22/1999. Meski tidak secara langsung UU No. 22/1999 memberikan jalan bagi terjadinya konflik politik di daerah, khususnya yang dimediakan pada pemilihan kepala daerah, namun spirit otonomi itu telah mendongkrak naik nilai jabatan kepala daerah secara politis. Akibatnya, jabatan-jabatan itu menarik minat banyak orang untuk memperebutkannya. Ketika proses memperebutkan jabatan-jabatan politis itu tidak dibarengi oleh kompetisi secara adil, potensi konflik menjadi demikian terbuka. Tragisnya, beberapa eksponen di masyarakat masih belum beranjak dari tradisi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan tersebut. Tak heran jika praktek politik uang, penggunaan kekerasan, tekanan massa, serta politik dagang sapi kerap menyeruak di tengah-tengah proses pemilihan kepala daerah.
Praktik kotor yang kerap menyertai di dalam setiap proses pemilihan kepala daerah tersebut setidaknya telah mengubur sementara harapan UU Otonomi Daerah, yakni menciptakan ruang politik yang lebih terbuka, transparan dan demokratis di daerah. Padahal, di luar segala kekurangannya, UU Otonomi Daerah disemangati oleh spirit terjadinya kompetisi yang sehat dan elegan bagi semua eksponen masyarakat untuk turut serta membangun demokrasi di daerah.
Melihat pelbagai kasus munculnya konflik politik lokal dewasa ini, setidaknya ada benang merah yang dapat ditarik darinya. Pertama, sejumlah konflik politik lokal terkait dengan sikap, tindakan, dan orientasi kepentingan elite-elite politik lokal dalam proses politik di daerah, khususnya motivasi untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan di daerah. Karenanya kematangan elite politik lokal yang kurang memadai, baik yang duduk di DPRD, eksekutif maupun di luar itu, diyakini menjadi "penyebab" munculnya pelbagai konflik politik di daerah.
Kedua, konflik politik lokal selain kerap melibatkan massa bawah, juga selalu menempatkan elite politik pada posisi sublimatif, yakni sebagai pihak pemegang otoritas konflik. Keterlibatan elite politik lokal baik sebagai pelaku, pencipta maupun sebagai penggerak konflik politik lokal telah menjadikan konflik itu sarat dengan kepentingan politik. Karenanya konflik politik lokal dapat berlangsung lama dan berakar kuat di masyarakat.
HUBUNGAN PUSAT-DAERAH: KEWENANGAN, PERIMBANGAN DAN KEHARUSAN (MENOLAK) REVISI
Otonomi daerah atau desentralisasi pemerintahan selain menjadi salah satu opsi kebijakan politik dalam rangka mempertahankan keutuhan nasional, sistem ini juga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi maupun derajat sosial seluruh masyarakat di setiap daerah. Dalam pengertian lain, sistem sentralisasi pemerintahan telah membawa bangsa dan negara ini ke situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya, yakni gejala disintegrasi -upaya memisahkan diri (merdeka). Yang patut disayangkan adalah bahwa ternyata bangsa Indonesia harus menunggu (32 tahun) sampai datangnya krisis besar, sebelum semua pihak menyadari pentingnya desentralisasi sistem pemerintahan. Jika kita belajar dari sejarah, pengalaman pahit ini seyogianya tidak singgah di Indonesia. Sejarah sejumlah negara sesungguhnya telah memberikan contoh otentik tentang kegagalan sistem sentralisasi pemerintahan. Uni Soviet, misalnya, sejumlah wilayah yang semula masuk dalam federasi negara ini pada tahun 1990 lepas menjadi negara-negara independen. Sementara sebelumnya, sekitar tahun 1970, Pakistan juga pecah menjadi dua dengan lahirnya Bangladesh. Dengan pola yang mirip sebagian wilayah Malaysia di tahun 1960 memisahkan diri menjadi Singapura. Dalam konteks yang sama, Aceh, Irian jaya (Papua), bahkan Riau dan Maluku hingga sekarang masih menunjukkan potensi semangat untuk mandiri.
Karena itu, sulit untuk memahami kebijakan otonomi daerah di Indonesia sekarang ini tanpa melihat sejarah perkembangan otonomi daerah itu sendiri. Setidaknya terdapat dua sisi penting yang mesti dipelajari dari pendekatan historis, yaitu sisi kultural dan sisi politis. Kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sejauh mana perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Jika dianalisis perkembangan otonomi daerah di Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945, akan tampak bahwa perubahan-perubahan penerapan atau konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh perubahan-perubahan politik yang dilakukan oleh elite politik yang berkuasa saat itu. Ini terlihat dari peraturan perundang-undangan daerah seperti UU No. t tahun 1945, UU No. 2 tahun 1948, UU No. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 tahun 1959, UU No. 18 tahun 1965, dan terakhir pada saat itu UU No. 5 tahun 1974.
Dalam berbagai aturan otonomi daerah di atas hal yang terpenting dari konsepsi otonomi daerah sejak dari kemerdekaan 1945 hingga saat sekarang, adalah mengenai perubahan titik berat kebijakan untuk memberi otonomi daerah lebih terfokus pada artian desentralisasi. Perubahan titik berat ini terjadi pada kurun waktu tersebut. Jika pada UU No. 1 tahun1945 lebih menitikberatkan kepada aspek dekonsentrasi, maka UU No. 2 tahun 1948 mengarah kepada titik berat desentralisasi.
Karenanya pemerintah pusat mesti tanggap sasmito, cepat merespons agar gejolak yang muncul tidak merembet ke soal-soal yang lebih politis sifatnya. Sebab, jika Aceh, Papua, dan Riau masih merasa diperlakukan kurang adil, mereka akan menjadi sumber inspirasi bagi daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya untuk mengikuti jejak dalam mengupayakan pemisahan diri dari negara kesatuan ini.
Dalam konteks itu, diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 mesti dilihat dari perspektif bahwa ada kemauan politik di tingkat pusat dalam menata ulang hubungan antara pusat dengan daerah, baik dalam tataran pembagian kewenangan secara politik maupun dalam konteks yang lebih bersifat ekonomis. Artinya, terdapat rumusan baru tentang hubungan ekonomi dan politik dalam semangat membangun otonomi daerah.
Dalam bidang politik, misalnya, UU No. 22 tahun 1999 merupakan guidance yang sedikit memberi angin segar dengan diserahkannya sejumlah kewenangan ke daerah. Sementara UU No. 25 tahun 1999 merupakan panduan atau rujukan bagi pembagian pelbagai masalah ekonomi. Hal itu dapat dilihat dari tujuannya antara lain:
a) Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan per-ekonomian daerah,
b) Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti,
c) Mewujudkan sistem perimbangan pusat dan daerah,
d) Acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah,
e) Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan
f) Pedoman pokok keuangan daerah.
Otonomi daerah juga berpretensi untuk mengurangi kesenjangan antara Pusat dan Daerah khususnya dalam hal mengentaskan kemiskinan melalui dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang herasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA), serta Dana Alokasi Umum dan Khusus. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan adalah 90%, BPHTB sebanyak 80%, dan penerimaan SDA dengan total 80% merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Memang kalau kita lihat dari Dana Perimbangan, Dana Perimbangan SDA pada sektor Kehutanan, Pertambangan Umum dan Perikanan, terkesan telah menguntungkan daerah. Namun itu semua belum sebanding dengan eksploitasi besar-besaran terhadap potensi sumber daya alam selama rezim Orde Baru berlangsung.
Substansi Kebijakan Otonomi Daerah
Sebagai sebuah kebijakan politik, otonomi daerah merupakan kebijakan yang memiliki sejumlah harapan bagi tercapainya sistem dan tata susunan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang memadai dalam upayanya untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Shah dan Tompson (2002), kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah dilihat dari definisinya adalah kebijakan yang bagus. Kebijakan tersebut mengandung sejumlah nilai positif setidaknya dalam beberapa hal, seperti: mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat; memungkinkan partisipasi warga (citizen partisipation), pemberdayaan politik lokal (empowerment local politics); kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal, memungkinkan kompetisi yang sehat antardaerah, menghindarkan monolitik kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi yang akan lebih tersebar.
Melihat konsepsi tentang otonomi daerah menurut Shah dan Tompson tersebut, sepintas tidaklah terlalu sulit bagi Indonesia untuk memulai menerapkan kebijakan tersebut. Sebab sejauh yang diketahui, publik (masyarakat) senantiasa merespons secara positif tentang kebijakan otonomi daerah. Apalagi jika dikaitkan dengan hakikat dan tujuan kebijakan otonomi daerah yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yakni dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat penduduk daerah, memberikan peluang pendidikan politik termasuk praktek berdemokrasi, mengefisienkan pelayanan publik, dan mempercepat pembangunan di daerah itu sendiri.
Persoalannya, implementasi dari sebuah kebijakan bukanlah hal yang sederhana karena menyangkut dimensi interpretasi maupun organisasi, di samping terkait dengan dukungan sumber daya yang tersedia.
Otonomi daerah kerap diinterpretasikan secara salah. Kesalahan dalam mengartikan desentralisasi tersebut dliebabkan oleh terbatasnya pemahaman umum tentang konsepsi pemerintahan daerah. Selain itu juga karena diskusi tentang otonomi daerah di tingkat pengambilan kebijakan dan publik lebih sering dimuati oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat politik jangka pendek, bukan didasari oleh semangat mengelaborasi permasalahan secara komprehensif.
Tantangan implementasi desentralisasi bukanlah persoalan yang hanya menyangkut persengketaan pemahaman definisi dan konsepsi saja, melainkan juga berkaitan dengan buruknya kondisi makro sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Buruknya kondisi tersebut juga tidak semata disebabkan oleh kegagalan praktek sentralisasi kekuasaan, namun sudah merambah jauh bahkan sampai ke persoalan eksistensi bagi sebuah bangsa yang sejatinya merdeka dan mandiri.
Keharusan (Menolak) Revisi
Sebagai sebuah kebijakan politik yang visioner dan berprospek di masa depan, UU otonomi daerah memang bukan sesuatu yang harus disakralkan sedemikian rupa sehingga menutup ruang dan peluang setiap komponen masyarakat untuk melakukan kritik dan koreksi terhadap substansi yang terdapat di undang-undang tersebut.
Sebagaimana dijelaskan di muka, undang-undang otonomi daerah bukan wilayah yang haram untuk diperdebatkan. Namun demikian, dengan adanya upaya dan usulan revisi oleh pemerintah pusat, yang menjadi pokok perhatian dan kajian dari sejumlah kepala daerah adalah tidak saja terbatas menyangkut substansi dan isi dari undang-undang tersebut, tapi lebih jauh lagi menyangkut aspek kontekstualisasi dari proses perubahan itu sendiri. Pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah apakah memenuhi kriteria kontekstual jika sebuah produk undang-undang mesti mengalami revisi manakala proses implementasi di lapangan belum sepenuhnya dapat dijadikan tolok ukur sebuah penilaian yang komprehensif dan menyeluruh. Persoalan singkatnya waktu uji coba dan pelaksanaan undang-undang tersebut juga merupakan pusat perhatian tersendiri dari berbagai pihak bahwa belum cukup waktu untuk mengetahui sejauh mana implikasi empiris dari proses pelaksanaan undang-undang tersebut di lapangan.

Sehingga dasar dan motivasi melakukan revisi tidak semata-mata berasal dari sejumlah wacana dan apologi pemerintah pusat dan sebagian pengamat tatkala ditemukan sejumlah deviasi (penyimpangan) yang tentunya belum diukur aspek keterpengaruhannya dari implementasi Undang-undang tersebut.
Alat Picu Baru Konflik Pusat-Daerah
Permasalahan dana perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), misalnya, merupakan masalah yang rawan dan berpotensi mengakibatkan lahirnya konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan bahwa tugas pemerintah di daerah dibiayai dari dana APBN (Pasal 78 ayat (2)). Pada Pasal 2 ayat (4) dijelaskan, pelimpahan kewenangan pusat kepada gubernur, atau bupati/walikota diikuti dengan pembiayaannya. Sementara itu menurut UU tersebut, keuangan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah berupa hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, juga dari dana perimbangan, pinjaman daerah. Dana perimbangan dalam hal ini adalah bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya sumber keuangan daerah berupa DAU, DAK, PAD, hasil SDA, hasil bukan SDA, setara atau sama dengan beban biaya urusan yang diberikan (didaerahkan) ditambah beban urusan masa lalu yang masih ditanggung, dan beban biaya pembangunan.
jika suatu daerah justru mengalami defisit dan tidak memiliki dana cadangan tahun lalu, maka pemerintah pusatlah yang harus menyelamatkannya. Jika intervensi pusat juga tidak mampu menopang maka tidak berlebihan jika daerah tersebut mesti dilikuidasi. Ini yang kerap ditakutkan oleh daerah dalam ruang lingkup otonomi daerah. Makanya, kerap terjadi tuntutan dari daerah untuk memperbesar dana perimbangan. Di pihak lain pemerintah pusat tidak serta merta dapat menerima dan mengabulkan usulan kenaikan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus tersebut.
Karena itu, meskipun otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah menggenjot potensi pendapatan asli daerah melalui berbagai pungutan dan retribusi, daerah tetap memiliki keterbatasan. Sebab faktanya sumber-sumber keuangan masih dikuasai oleh pusat. Apalagi jika dilihat dari jenis pajaknya, potensi yang ada di daerah umumnya relatif tetap kecil dan tidak merata antardaerah. Pemerintah Pusat masih tetap menguasai potensi pajak yang bernilai nominal tinggi, sehingga wajar saja jika kemudian daerah masih tetap berusaha menuntut dana perimbangan yang relatif tinggi.
Kebijakan otonomi daerah merupakan bagian integral dari lompatan besar di bidang ketatanegaraan dan arus besar demokratisasi. Karena itu, otonomi hanyalah langkah setapakyang mesti menjadi awal dari langkah besar lainnya dalam koridor gerakan demokratisasi. Dengan demikian, substansi dan implementasi menjadi penting artinya untuk menjaga marwah gerakan agar tidak terjerumus ke dalam jurang sentralisasi. Karena itu, secara kritis kebijakan otonomi harus ditempatkan sebagai kebijakan yang benar-benar diarahkan untuk menjadi pijakan atau kerangka dalam menguatkan fondasi nilai-nilai demokrasi. Pe-nyelenggaraan otonomi daerah juga mengharuskan untuk lebih mengemukakan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah.
Dalam konteks mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi di atas, hanya melaksanakan otonomi daerah semata tidaklah cukup. Hal itu harus dibarengi pula dengan sikap dan perilaku yang mencerminkan sikap dan perbuatan demokratis pada diri lembaga perwakilan rakyat daerah maupun kalangan birokrasi pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya.
Kebijakan otonomi daerah yang bentuknya berupa Undang-Undang No.22 tahun 1999 dan Undang-Undang No.25 tahun 1999 merupakan kebijakan yang sangat strategis. Kedua Undang-undang ini memiliki prospek bagi
munculnya pemerintahan yang akuntabel dan terpercaya, dapat meningkatkan prakarsa dan peran serta masyarakat daerah, pengembangan demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta pemberdayaan masyarakat dalam rangka pe-ngembangan sumber daya manusia, yang semuanya diperuntukkan sebagai langkah menuju peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Otonomi daerah dalam skala nilai mesti menjiwai kebutuhan dasar masyarakat dan diorientasikan untuk membangun kemandirian daerah dan meningkatkan kualitas demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Sebab itu, kualitas otonomi daerah akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kebijakan-kebijakan yang ada itu dapat me-numbuhkan suatu prakarsa dari masyarakat, dan bukan ketergantungan masyarakat akibat kebijakan yang membatasi kreatifitas rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan negara kesatuan yang diberikan secara luas dan utuh, tidak berarti ia bebas sepenuhnya menjalanlcan kekuasaan secara mutlak. Kebijakan itupun bukan berarti bebas pula untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut sekehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan antardaerah dan kepentingan nasional secara menyeluruh.
Meski demikian, adanya perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah tidak diharapkan untuk memunculkan konflik yang berlarut-larut, sehingga mengganggu harmonisasi hubungan pusat dengan daerah. Karena itu, kebijakan otonomi daerah perlu dirumuskan sedemikian rupa tentang pembagian kewenangan antara kewenangan pusat dan kewenangan daerah agar hak dan kewajiban, fungsi dan peran serta tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintah menjadi jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalin komentar dan alamat e-mail para pembaca artikel ini ya ?